
Disusun Oleh: DF dan Manris
Daya saing daerah menjadi salah satu tujuan penting dalam proses pembangunan karena pada kenyataannya sebuah daerah, layaknya sebuah perusahaan, juga bersaing dengan daerah lain. Walaupun setiap daerah memiliki karakteristik, potensi dan permasalahan yang berbeda namun setiap daerah saling bersaing terutama dalam mempertahankan tenaga kerja dan modal yang ada di daerahnya tetapi juga akan mampu menarik tenaga kerja dan modal dari daerah lain.
Tenaga kerja dan modal yang mengalir masuk ke daerah tersebut akan mendorong peningkatan produktivitas sehingga daerah tersebut akan mampu untuk terus maju dan menerima manfaat dari daerah lain.
Hasil penelitian tentang tingkat daya saing seluruh provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Khee G. Tan pada tahun 2013 juga menunjukkan bahwa daerah dengan tingkat daya saing tertinggi didominasi oleh provinsi-provinsi yang berada di sebelah barat Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa peningkatan daya saing penting dilakukan setiap pemerintah daerah guna mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia.
Hubungan antara ketimpangan pembangunan antardaerah dengan perbedaan tingkat daya saing daerah dibuktikan pula oleh penelitian yang dilakukan Charles dan Zegara (2014) yang mengukur tingkat daya saing daerah di Peru dengan menggunakan Data Envelopment Analysis(DEA).
Penelitian Charles dan Zegara tersebut menyimpulkan bahwa daerah dengan tingkat daya saing yang tinggi (insfrastruktur, kelembagaan, sumber daya manusia dan lingkungan bisnis yang lebih baik) memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik bila dibandingkan dengan daerah lain.
Konsep daya saing tidak hanya untuk mengevaluasi mengapa suatu daerah dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain tetapi juga menjelaskan mengapa distribusi pendapatan suatu negara atau daerah lebih merata bila dibandingkan dengan negara atau daerah yang lain.
Disamping ketimpangan pembangunan antardaerah, peningkatan daya saing juga berkaitan erat dengan globalisasi dan penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015 di negara-negara asia tenggara. Seperti yang dikemukakan Imawan (2002) bahwa globalisasi dan perdagangan bebas bukanlah sebuah konsep yang netral dimana setiap negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mempengaruhi dinamika internasional.
Dengan demikian peran pemerintah untuk menumbuhkan dan meningkatkan daya saing dapat dilihat dari tiga sisi yakni : pertama, menjaga kompetensiantar pengusaha atau antarproduk di dalam daerah agar dapat terus tumbuh dan berkembang sehingga dapat bertahan dari serbuan produk atau jasa dari daerah atau negara lain (unggul di dalam daerah sendiri).
Kedua mengembangkan produk dan jasa yang ada untuk dapat bersaing di pasar internasional dan Ketiga adalah agar daerah mampu menarik tenaga kerja, pengusaha atau investor untuk mengembangkan perekonomian daerah.
Peningkatan daya saing juga menjadi isu yang penting berkaitan dengan pelaksanaan amanah Undang-Undang Nomor23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pasal 258 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan daya saing daerah.
Selain itu ketentuan normatif lainnya yang mengatur peningkatan daya saing adalah undang-undang tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional, yang menyebutkan bahwa sasaran pembangunan jangka menengah nasional periode 2010-2014 adalah mencapai penguatan daya saing perekonomian dan periode2015-2019 pembangunan diarahkan untuk mencapai daya saing perekonomian yang didasarkan pada keunggulan dan kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Peningkatan daya saing hanya dapat dicapai melalui perbaikan faktor-faktor input yakni faktor yang menunjukkan kemampuan daerah untuk membangun perekonomiannya baik faktor yang menjadi penentu kesuksesan (succsessdeterminant) peningkatan daya saing maupun faktor-faktor daya saing (competitiveness factors) itu sendiri. Faktor-faktor input ini akan menentukan kinerja perekonomian (output) dalam jangka pendek dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (outcome) dalam jangka panjang. Untuk itu, untuk menganalisis daya saing daerah dapat dilakukan dengan melihat faktor-faktor input yang menggerakkan perekonomian daerah.
Gambaran yang cukup jelas mengenai faktor-faktor yang membangun daya saing daerah dikemukakan oleh Lengyel dan Rechnitzer (2013) dengan teori piramida daya saing. Lengyel dan Rechnitzer menyatakan bahwa daya saing dapat dilihat dari tiga hal yakni pendapatan daerah, tingat produktivitas tenaga kerja dan tingkat pengangguran. Pencapaian ketiga hal tersebut ditentukan oleh faktor kegiatan penelitian dan pengembangan, sumber daya manusia, investasi, kelembagaan dan perdagangan.
Sedangkan yang menjadi penentu kesuksesan peningkatan daya saing adalah struktur ekonomi dan sosial di daerah, pembuat kebijakan, aktivitas inovatif dan kewirausahaan, aksesibilitas dan infrastruktur, lingkungan, tenaga kerja yang terampil dan budaya masyarakat setempat.
Banyak penelitian yang berusaha membuktikan faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing suatu daerah. Penelitian Ron Martin pada tahun 2005 membuktikan bahwa kuallitas sumber daya manusia, potensi sumber daya alam,perbaikan kualitas infrastruktur, pengembangan inovasi dan kegiatan penelitian dan pengembangan mampu memberikan kontribusi positif bagi peningkatan perekonomian daerah.
Penelitian yang dilakukan Paul Plummer (2014) membuktikan bahwa daerah-daerah yang melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur, menumbuhkan kegiatan inovasi teknologi, dan memperkuat kondisi lingkungan lokal dan menciptakan regim perencanaan yang kondusif mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain.
Pendesentralisasian kewenangan untuk merencanakan pembangunan di daerah pada dasarnya dilakukan agar pembangunan lebih tepat sasaran. Seperti yang dikemukakan Kumar(2001:2) bahwa desentralisasi perencanaan sebagai persepsi yang lebih baikatas kebutuhan lokal, memungkinkan proses formulasi kebijakan untuk memperoleh lebih banyak informasi, memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan untuk bersuara dalam proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan untuk mencapai koordinasi dan integrasi yang lebih baik antara program yang dapat menampung atau menjawab kebutuhan masyarakat.
Namun kondisi-kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah khususnya pendesentralisasian kewenangan untuk merencanakan pembangunan daerah belum mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam teori perencanaan ada dua pandangan yang membahas mengenai perencanaan yang baik. Pertama teori prencanaan rasional yang menyatakan bahwa perencanaan yang baik adalah perencanaan yang disusun berdasarkan akurasi data, hasil pengamatan (observasi yang mendalam) dan berdasarkan pengalaman atau hasil evaluasi yang diperoleh dari kasus sebelumnya.
Kedua,teori perencanaan partisipatif/komunikatif yang menyatakan bahwa perencanaan yang baik adalah perencanaan yang melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Oleh karena itu, perencanaan seharusnya menghasilkan pencapaian pembangunan yang signifikan dan lebih baik dari tahun ke tahun.
Disisi lain Faludi (1973) menyatakan ada dua teori dalam perencanaan yang dapat digunakan untuk melihat masalah yang dihadapi dalam perencanaan yakni teori substantif dan teori prosedural.Teori substansif (Theory in Planning) memandang masalah perencanaan terletak pada ketidakmampuan para perencana untuk memahami letak akar masalah yang sesungguhnya dihadapi masyarakat dan pada akhirnya berakibat pada ketidakmampuan para perencana dalam menyusun rencana yang efektif untuk mengatasi dan mengantisipasi masalah yang akan datang.
Sedangkan teori prosedural (Theory of Planning) memandang perencanaan sebagai sebuah proses yang terkait dengan kapasitas perencana, operasionalisasi prosedur dalam penyusunan rencana dan kelembagaan yang bertanggung jawab menyusun dan menetapkan rencana.
Berdasarkan pengertian tersebut maka apabila dipandang dari sudut teori prosedural maka inti masalah perencanaan adalah pada proses pembuatan rencana itu sendiri yang didalamnya terdapat serangkaian prosedur serta melibatkan banyak pihak. Proses yang panjang dan banyaknya pihak yang terlibat tersebut seringkali menyebabkan perencanaan menjadi tidak efektif.
Leave a Reply